/pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"> MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSOF DAN AL-MAWARDI

www.emaskuwinggo.blogspot.com

Wednesday, 20 July 2016

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSOF DAN AL-MAWARDI

BAB  I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan hadis Nabi SAW. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.  Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.










BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf  dan Al- Mawardi

1. Biografi Abu Yusuf.
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein ibn al-Anshori.  Beliau lahir di Kufah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab.  Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.  
Sejak kecil ia telah memiliki minat ilmiah yang tinggi.  Beliau giat belajar dan meriwayatkan hadis.  Banyak ahli hadis memujinya dalam hal periwayatan.  Dalam belajar ia menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menghafal sejumlah hadis.
Kemudian ia tertarik untuk mendalami ilmu fiqih.  Ia mulai belajar fiqih pada Muhamad ibn Abdurahman ibn Abi Laila (seorang ulama dan pejabat hakim di Kufah).  Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi.  Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam.  Setelah Iman Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.
Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan baik ulama, pengusaha maupun masyarakat umum.  Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.  Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.  Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhamad bin Al-hasan Al-Syaibani, Ahmad bin Hanbal, Yazid bin Harun Al-Wasithi, Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui dan Yahya bin Adam Al-Qarasy.
Pada tahun 166 H Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad.  Di Baghdad ia menemui khalifah Abbasiyah, Al-Mahdi yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur.  Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid, organisasi kehakiman mengalami perubahan.  Pada masa itu jabatan Abu Yusuf naik menjadi ketua para hakim pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah.
Dengan jabatan dan kewenangan itu, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasyarakatkan hukum-hukum mazhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum yang praktis.  Karena pengangkatan hakim di seluruh Daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut Mazhab Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Mazhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah Islam.
Ketika Abu Yusuf  memangku  jabatan sebagai Qadi al Qudah, beliau diminta oleh ar Rasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan.  Buku itu kemudian dikenal dengan nama kitab al-Kharaj.  Kitab tersebut dijadikan pedoman penegakan hukum pada masa itu, untuk menghindari kezaliman terhadap rakyat yang disebabkan oleh perbedaan kedudukan atau agama.  Dia telah meletakkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam.  Kitabnya mempunyai peran penting dalam menjadikan ar Rasyid sebagai sosok yang sangat disiplin dalam menggunakan harta negara.
Beberapa karya Abu Yusuf diantaranya adalah:
Kitab al-Asar.  Didalam kitab ini dimuat hadis yang diriwayatkan dari ayah dan gurunya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa ibn Abi Laila.  Didalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka.
Kitab ar-Radd ’ala Siyar al-Auza’i.  Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan Abdurahman al-Auzai tentang perang dan jihad.
Kitab al-Kharaj.  Kitab ini merupakan kitab terpopuler dari karya-karyanya.  Didalam kitab ini , ia menuangkan pemikiran fiqihnya dalam berbagai aspek, seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah.


A. Pemikiran Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan ahli fiqih pertama yang mencurahkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi.  Tema yang kerap menjadi sorotan dalam kitabnya terletak pada tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak serta kewajiban penguasa untuk menghargai uang publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya. Sebuah studi perbandingan menunjukkan bahwa beberapa abad sebelum keuangan publik dipelajari secara sistematik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang kemampuan untuk membayar pajak dan kenyamanan dalam membayar pajak. Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik.  Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi,  Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

B. Keuangan publik menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf memiliki sumbangan yang cukup besar bagi kemajuan ekonomi pada masa Harun ar-Rasyid, karena beliau telah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis kepada keadilan dan maslahah.
Secara umum penerimaan negara dalam daulah Islamiyah yang ditulis oleh beliau dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yaitu:  
1. Ganimah
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta  
     orang kafir melalui peperangan.
2. Sadaqah
    Sebagai salah satu instrumen keuangan negara, zakat tetap menjadi     
    salah satu sumber penerimaan negara pada saat itu.
3. Fay’
     Adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan Usyur dari perdagangan.
Semua harta Fay’ dan harta-harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan Usyur merupakan harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslim dan disimpan dalam Bait al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi negara.  Harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan mereka.
Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan.  Akan tetapi, Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai amanah dari tuhan yang akan diminta pertanggungjawabannya.  Oleh karena itu, efisiensi dalam penggunaan sumber daya merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan diantaranya yaitu:

Kharaj (pajak tanah)
Salah satu pemikiran dari Abu Yusuf yang terkenal adalah mengenai  pajak tanah (Kharaj).  Pengenaan pajak atas tanah adalah jenis pajak yang paling tua dan paling banyak dilakukan.  Dimasa lalu, sumber pendapatan utama negara Islam sejak pemerintahan Khalifah Umar sampai pada keruntuhan peradaban umat Islam adalah Kharaj.
Pemikiran Abu Yusuf tentang Kharaj meliputi :
Klasifikasi status tanah
Setelah Rasulullah SAW wafat, terjadi ekspansi negara Islam dengan tunduknya Byzantium, Mesir, Palestina, Syria, tanah Sasnid di Iraq dan Persia.  Abu Yusuf menekankan bahwa pemerintah mempunyai otoritas dan hak untuk membagikan tanah tersebut kepara para pejuang sebagai Ganimah. Namun, lebih baik jika pemerintah memutuskan mengembalikan tanah kepada pemiliknya dan menarik Kharaj dari mereka sebagai pendapatan tetap bagi negara untuk kesejahteraan umat Islam.  Jadi, status tanah tersebut menjadi tanah  kharaj.
      Dibawah ini dijelaskan perpajakan tanah menurut Abu Yusuf yang didalamnya meliputi status dan jenis pajak yang akan dikenakan:
Wilayah lain (di luar Arabia) dibawah kekuasaan Islam, dibagi 3 bagian. 
wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
Wilayah yang dimiliki oleh muslim di luar Arabia.(Usyr)
Wilayah yang berada dibawah perjanjian damai, dibagi 2 bagian.
Penduduknya yang kemudian masuk Islam (Usyr)
Mereka yang tidak memeluk Islam (Kharaj)
Tanah taklukkan, dibagi 4.
Ketika penduduknya masuk Islam sebelum kekalahan. (Usyur)
Apabila tanah taklukkan tidak dibagikan dan tetap dimiliki (Kharaj)
Jika khalifah membagikan tanah tsb untuk pejuang (Usyur)
Jika ditahan oleh negara (Usyur dan Kharaj)
Kepemilikan Negara
Kebijakan fiskal Islam tentang tanah-tanah yang sangat luas yang ada di jazirah arab yang tidak dimiliki oleh siapapun atau tidak bertuan akan segera diambil oleh negara. Negara sebagai pemilik tanah-tanah kosong memiliki otoritas untuk memberikannya kepada seseorang dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digarap dan memberikan pendapatan bagi negara melalui pajak tanah.  Ada dua metode yang dilakukan negara dalam pemberian tanah kepada warga negaranya, yaitu melalui pemberian secara resmi melalui institusi iqta dan melalui perolehan hak karena menghidupkan tanah yang mati.
1.     Institusi Iqta
Iqta merupakan prosedur dari pemberian tanah kosong yang dilakukan oleh negara.  Dalam sisitem fiskal Islam, istilah itu mengarah pada penganugerahkan tanah kosong sebagai sebuah hadiah dari negara untuk seseorang yang dapat mengembangkan dan mengolah tanah.  Abu Yusuf merekomendasikan bahwa para penguasa boleh memberikan tanah-tanah yang tidak dimiliki siapapun sebagai iqta.
2.     Menghidupkan Tanah yang Mati
Pada prinsipnya tanah yang mati itu milik negara.  Namun, bagi warga kepemilikannya berhubungan dengan usahanya mengelola lahan yang mati tersebut.  Sudah menjadi aturan umum, bahwa siapapun yang menghidupkan lahan tersebut akan menjadi pemiliknya.  Abu Yusuf  mengatakan usaha itu termasuk membajak, menabur dan mengairi tanah. 


Metode Penetapan Tarif Kharaj
Ada 2 metode yang dilakukan dalam penilaian Kharaj, yaitu
Metode Misahah adalah metode penghitungan kharaj yang didasarkan pada pengukuran tanah tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode Muqasamah adalah para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.
Menurut Abu Yusuf, sistem misahah, sudah tidak efisien lagi.  Dia menemukan pada masanya ada area-area yang tidak diolah selama ratusan tahun.  Pada situasi ini pajak yang dihasilkan dengan tarif tetap atas hasil panen atau sejumlah tetap dari uang tunai akan membebani pembayar pajak secara berlebihan.  Menurut beliau, tarif pajak tetap dengan basis pengukuran tanah dibenarkan hanya apabila tanah itu subur.
Abu Yusuf memberikan pilihan kebijakan yang lebih sesuai denagn syariah, kemaslahatan umum dan sisitem perpajakan, yaitu dengan merekomendasikan pemberlakuan sistem penilaian pajak tanah dengan metode muqasamah.
Dalam metode penilaian pajak tanah muqasamah, para petani dikenakan pajak dengan menggunakan rasio tertentu dari total produksi dari yang mereka hasilkan.  Rasio ini bervariasi sesuai dengan jenis tanaman, sistem irigasi dan jenis tanah pertanian.

4.   Administrasi Kharaj
Terhadap administrasi keuangan Abu Yusuf mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi.  Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sisitem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan sebagai imbalannya penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan kepada negara.

Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sistem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar.  Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak Qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.
Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar.  Dalam mengejar keuntungan, penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui kemampuan mereka.  Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika hukumnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan pengenaan pajak ilegal kepada mereka tidak saja akan merusak produksi pertanian, tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari Kharaj.
   
C. Mekanisme Pasar Menurut Abu Yusuf
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.  Dengan kata lain pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.  Fenomena inilah yang dikritisi oleh Abu Yusuf.  Beliau membantah bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga akan mahal dan bila persediaan barang melimpah maka harga akan murah. Ia menyatakan :
” Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.”
                                
Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak bergantung pada permintaan saja tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran.  Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan atau penurunan atau peningkatan dalam produksi.  Abu Yusuf mengatakan :
 ” Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan.  Hal tersebut ada yang mengaturnya.  Prinsipnya tidak bisa diketahui.  Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan.  Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.” Kontroversial lain dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga.  Ia menentang penguasa yang menetapkan harga.  Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah SAW,
”Pada masa Rasulullah Saw, harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga.  Rasulullah Saw bersabda tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”
Dalam melakukan restrukturisasi sistem perekonomian negara, ada beberapa mekanisme yang dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu:
a)      Menggantikan sistem Wazīfah dengan sistem Muqassamah
Istilah wazīfah dan istilah  muqassamah adalah istilah untuk menyebut  sistem pemungutan pajak. Sistem wazīfah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem  muqassamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional.
b)    Membangun pemahaman fleksibilitas sosial
Meskipun hukum Islam  hanya mengakui muslimin sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh, secara bersamaan kaum  nonmuslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila mereka diijinkan untuk memasuki wilayah  Dar alIslam. Seorang muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum Islam dan menikmati hak-hak kewarganegarannya secara penuh. Namun dibalik itu setiap warga negara akan menikmati haknya secara berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka masing-masin. Abu Yusuf dalam  hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai  kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok  Harbi, kelompok Musta’min dan  kelompok  Dhimmi. Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah masyarakatnya,dengan mengatur beberapa ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya.
c)    Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan
Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau mendeskripsikan  income  negara yang meliputi  ghanimah  dan  fai’ sebagai pemasukan yang sifatnya incidental revenue, sedangkan kharaj, jizyah, ‘ushr dan sadaqah/zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanent revenue. 
d)   Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih menentukan.  Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: ”Diriwayatkan  dari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin ’Utaibah yang menceritakan bahwa  pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi,  sehingga sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata, ‘Tinggi dan rendahnya harga barang merupakan bagian  dari keterkaitan dengan keberadaan Allah dan  kita tidak  dapat mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut. 
Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi (Teori Supply and Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan supply dan demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan berpengaruh terhadap harga. Dari pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab  al-Kharaj dapat disimpulkan meliputi beberapa bidang sebagai berikut:
1.      Tentang pemerintahan,  Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama Allah  SWT Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih  yang sangat populer  yaitu  tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manūtun bi-al-maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan  dengan rakyat  senantiasa terkait dengan kemaslahatan).
2.      Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara  bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah s.w.t. dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya.
3.      Pertanahan, Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyatdihormati, tidak boleh diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak  digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
4.      Perpajakan,  Ia  berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka. 
5.      Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu penghinaan, terhadap lembaga peradilan.  Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang syubhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.
D.    Studi Kritis terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Abu Yusuf menjadi salah satu dari dua referensi utama  fikih dalam mazhab Hanafi, selain Muhammad Ibn Hasan al-Shaibani. Pengetahuannya tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab  al-Athar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana  fikih Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Keunggulan karya Abu Yusuf dalam bidang  fikih karena ditulis dengan metode: Pertama, menggabungkan metode fukaha (aliran ra'yu) di Kufah dengan metode fukaha (aliran al-hadits) di Madinah. Kedua, rumusan hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam menyelesaikan kasus-kasus riil, membuatnya banyak menghindar dari rumusan  fikih yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat. Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fukaha aliran ra'yi dan aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya. Keempat, komitmen pada sumbersumber tekstual dan rasional. Metode ini menjadi tradisi para ulama  ahl al-ra'y yang menggunakan nalar qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-‘urf (tradisi masyarakat yang baik).
Dalam bidang ekonomi,  terutama dalam kitab  al-Kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban atas proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan persoalanpersoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa itu. Jawaban atas semua persoalan tersebut diperkuat oleh dalil-dalil ‘aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja‟far yang hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan  kepada nalar.
Abu Yusuf menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan  teks hadis. Sehingga kualitas hadis dalam  al-Kharaj karya Abu Yusuf lebih  sahih ketimbang dalam kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Ja‟far. Dalam hal ini Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual para sahabat  (a'mal alsahabah) asalkan  relevan dengan situasi yang ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama.

2. PROFIL AL-MAWARDI 
Abu Al- Hasan bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’I lahir
dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana diberbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin Al-Fadhl  Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.  
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi (hakim) diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali kekota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi. 
Sekalipun hidup dimasa dunia islam terbagi kedalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu dinasti Abbasiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi dimata para penguasa dimasanya bahkan, para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu A-Izza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputii berbagai bidang kaijian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, sepeti : Tafsir Al-Quran al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-maliki, Nasihat al-Muluk, al-ahkam ash-shulthaniyyah, an-Nukat wa al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskanberbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut. Al-mawardi meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun. 

A.     Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbaga lembaga Negara, penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.
Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komperhensif dalam mempersentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih sistematis dan rumit. Sumbanga utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman public.

B.    Negara Dan Aktifitas Ekonomi
Teori keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.
Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya, 
“ jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”.
Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai.  Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara sebagai berikut :
a.       Melindungi agama
b.      Menegakkan hukum dan stabilitas
c.       Memelihara batas Negara islam
d.      Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e.       Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.       Mengumpulkn pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
g.      Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya. 
Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat. 
Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin. 
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya dimasa awal pemerintahan Madinah. 
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada public untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.  
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman public dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman public merupakan  solusi terahir yang dilakukan oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.
C. Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj  harus berfariasi sesuai dengan factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai factor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi.
Disamping ketiga factor tersebut, al-Mawardi  juga mengungkapkan factor yang lain, yitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.
Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:
a.       Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
b.      Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.
c.       Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed  atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir, Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
D. Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebaggian harta Baiitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami deficit. Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan public. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu :
a.       Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b.      Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai  yang diperuntukan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.  
Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun besarnya.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab social (fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan public dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relative. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar. 
Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.
Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara adalah peningkatan dalam kekayaan public.”
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. 



BAB  III
PENUTUP
A. Kesimpulan 
Setelah dipaparkan dengan panjang lebar pada bagian terdahulu, maka dalam kesimpulan ini menarik untuk melihat apa yang dinyatakan oleh Syed Nawab Haidar Naqvi yang menyimpulkan dua point penting yang berkenaan dengan keadilan ekonomi, yaitu Pertama, pandangan Islam terhadap keadilan sosial ekonomi dilandaskan pada prinsip bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah (QS, 3 : 180). Sebagai khalifatullah fi al-ardh manusia diberi wewenang untuk mengelolanya dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh makhluk. Pemilikan manusia hanyalah bersifat relatif. 
Kedua, ajaran Islam seperti yang termuat dalam al-Qur’an tak henti-hentinya menggalakkan mekanisme pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in, yang lebih diefektifkan lagi oleh pengaitannya dengan ridha Allah.
Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mengambil sumber dari buku “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” karya Ir. H. Adi Warman Ashar Karim,SE. M.BA.
B. Saran
    Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat berterima kasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA
Audi, Rif’at al-, Min al-Turats: al-Iqtishah li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘alam al-islami, 1985
Azmi, Sabuddin, Islamic Ekonomic: Public Finance in Early Islamic Thought, New Dehli : GoodWord Books, 2002
Siddiqi, M. Najatullah, History of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awam, (ed), Lectures on Islamic Economic, Jeddah: IRTI-IDB,1992
Azmi Sabahuddin, Menimbang Ekonomi Islam, Keuangan Publik, Kosep Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, (Bandung: Nuansa, 2005)
Hasan Abul, Readings in Islamic Ekonomic Thought, Longman Malaysia Sdn. Bhd, 
            1992
Karim, Adiwarman Azhar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Ed. Ketiga. Jakarta: PT 
             Rajagrafindo Persada, 2004.
Karim Adiwarman Azhar, Ekonomi Islam Suatu kajian Kontemporer, Jakarta. Gema 
             Insani 2001.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta. Ekonomi 
               Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSOF DAN AL-MAWARDI

0 komentar:

Post a Comment