/pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"> MAKALAH TENTANG WAKAF

www.emaskuwinggo.blogspot.com

Tuesday, 2 August 2016

MAKALAH TENTANG WAKAF

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti yang berkaitan dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam juga mengatur hubungan sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) dengan cara menafkahkan harta yang dimiliki demi kesejahteraan umum seperti adanya perintah zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf.
Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah mengelola dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf dari lembaga lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan umum.Pada  umumnya wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela  untuk digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak seperti untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring berjalannya waktu wakaf nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomiyang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu  dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami perubahanmaksud yang lebih mudah, yaitubahwa  harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa  harta benda tidak bergerak maupun yang  bergerak.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Wakaf
Esensi wakaf pada dasarnya telah dilakukan oleh umat- umat terdahulu, termasuk dikalangan non muslim. Hanya saja apa yang dilakukan oleh umat terdahulu tersebut bukan untuk mendapat keridaan Allah melainkan persembahan untuk kepercayaan mereka. Kondisi ini menjadi penyebab ulama besar seperti Imam Syafi’I menyatakan bahwa tidak ada wakaf sebelum umat islam. Sejarah wakaf dibagi dalam dua kelompok yaitu : masa Rasulullah dan para sahabat, dan masa dinasti-dinasti Islam.
1)      Masa Rasulullah dan para Sahabat.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan wakaf pertama kali, sebagian mengatakan bahwa wakaf dilakukan oleh Rasulullah atas pembangunan masjid, dan sebagian lagi mengatakan dilakukan oleh sahabat Umar atas tanahnya di Khaibar. Rasulullah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, selanjutnya disusul oleh para sahabat lainnya, seperti : Abu Thalhah yang mewakafkan kebunnya, Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah, Utsman bin Affan menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali Bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur, Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwan dan ‘Aisyah istri Rasulullah SAW.
2)      Masa dinasti-dinasti Islam.
Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, pelaksanaan wakaf menjadi lebih luas lagi, yaitu untuk turut membangun solidaritas umat dan ekonomi masyarakat.Pada dinasti Abbasiyah, pengelolaan wakaf baik secara administrasi dan independen dilakukan oleh lembaga disebut dengan”shadr al-wuquf”.Pada masa Ayyubiyah, terjadi lompatan besar dalam berwakaf. Dinasti utsmani, yang menguasai sebagian besar wilayah Negara Arab, menerapkan syariah islam dengan lebih mudah termasuk mengatur tentang wakaf yang mulai diberlakukan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H (1859 M). Selanjutnya tahun 1287 H (1866 M) dikeluarkan Undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan dan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsman dan tanah produktif yang berstatus wakaf.Dari implementasi undang-undang tersebut di Negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktikan sampai sekarang.
B.     Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat atau tetap berdiri. Secara syariah, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Perbedaan pandangan tentang terminology wakaf adalah sebagai berikut :
1)      Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif/pewakaf dan mempergunakan manfaatnya untuk kebijakan.
2)      Mazhab Maliki
Wakaf adalah menahan benda milik pewakaf(dari penggunaan secara kepemilikan termasuk upah), tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan yaitu pemberian manfaat benda secara wajar.
3)      Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Wakaf adalah menahan harta pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

C.   Jenis-Jenis Wakaf
1.    Berdasarkan Peruntukan
1)      Wakaf ahli (Wakaf Dzurri) atau disebut juga wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang dipeuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat sendiri.
Wakaf ahli (dzurri) ini adalah suatu hal yang baik karena pewakaf akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga dari silaturrahmi terhadap keluarga. Akan tetapi, wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, akibat terbatasnya pihak-pihak yang dapat mengambil manfaat darinya.
2)      Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.
Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang dapat mengambil manfaat darinya.Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.

2 .  Berdasarkan Jenis Harta
Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dilihat dari jenis harta yang diwakafkan, wakaf terdiri atas:
1)      Benda tidak bergerak, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi:
Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
Tanaman dan benda bagian lain yang berkaitan dengan tanah
Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah danperaturan perundang-undangan
2)      Benda bergerak selain uang, terdiri atas :
Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undang-undang.
Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak dapat dihabiskan karena pemakaian.
Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya berkelanjutan.
Benda bergerak karena sifatnya yang dapat diwakafkan (kapal, pesawat terbang, kendaraan bermotor, mesin, logam dan batu mulia).
Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (surat berharga, hak atas kekayaan intelektual, hak atas benda bergerak lainnya).
3)      Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai, cash waqf) yang merupakan inovasi dalam keuangan publik Islam (Islamic society finance), karena jarang ditemukan pada fikih klasik. Berdasarkan beberapa dalil dan pendapat para ulama maka MUI melalui komisi fatwa mengeluarkan tentang wakaf uang yang intinya berisi sebagai berikut:
Wakaf uang (cash wakaf/waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai;
Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga;
Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);
Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i;
Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
3.    Berdasarkan Waktu
1)      Muabbad, yaitu wakaf yang diberikan untuk selamanya.
2)      Mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
4.    Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan
1)      Mubayir/dzati yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit.
2)      Istitsmary, yaitu harta wakaf yang ditunjukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf.

D. Sasaran dan Tujuan Wakaf
Secara umum, Tujuan Wakaf adalah untuk kemaslahatan manusia, dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal dunia. Selain itu wakaf memiliki fungsi sosial, karena sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan publik dan masyarakat luas.
Wakaf memiliki sasaran khusus, yaitu :
1)      Semangat keagamaan
Sasaran wakaf ini berperan sebagai saran untuk mewujudkan sesuatu yang diniatkan oleh seorang pewakaf. Dengan wakaf, pewakaf berniat untuk mendapatkan rida Allah dan kesinambungan pahala yaitu selama harta yang diwakafkan memberi manfaat sekalipun ia telah meninggal dunia.
2)      Semangat sosial
Sasaran ini diarahkan pada aktivitas kebajikan, didasarkan pada kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.Sehingga, wakaf yang dikluarkan merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
3)      Motivasi keluarga
Motivasi ini ingin menjadikan wakaf sebagai saran untuk mewujudkan rasa tanggung jawab kepada keluarga, terutama sebagai jaminan hidup di masa depan. Namun wakaf tidak dapat diperuntukkan untuk diri pewakaf sendiri ataupun pada janin yang masih dalam kandungan.

4)      Dorongan kondisional
Terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada yang akan menanggungnya. Atau, seorang perantau yang jauh meninggalkan kluarganya.Dengan wakaf, pewakaf bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
5)      Dorongan naluri
Naluri manusia memang tidak ingin lepas dari kepemilikannya.Setiap orang cenderung ingin menjaga peninggalan harta orang tua atau kakeknya dari kehancuran atau kemusnahan. Dengan wakaf, maka dia akan terdorong untuk membatasi pembelanjaan. Dengan berniat wakaf kepada seseorang atau lembaga tertentu, dia bisa menyalurkan hartanya dengan baik, tidak kuatir terjadi, pemborosan atau kepunahan kekayaan.

E.   Dasar-Dasar Syariah
Perintah untuk melakukan wakaf serta sumber hukum mengenai wakaf terdapat pada:
Al Qur’an
                 
Artinya:  kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Ali-Imran : 92)
As Sunnah
عن ابى هريرة  ان رسول الله صلى عليه و سلم قال : ادا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلث صدقة جارية  او علم ينتفع به او ولد صالح يدعوله  (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)
Dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi, disimpulkan bahwa Allah dan Nabi Muhammad SAW menganjurkan manusia utnuk memberikan wakaf untuk kemaslahatan umat manusia dan pahalanya akan tetap mengalir pada pewakaf, sekalipun ia telah meninggal dunia, selama harta yang diwakafkan masih memberikan manfaat.

F. Rukun Wakaf
Ada empat rukun wakaf atau unsur-unsur wakaf, yaitu :
1.         Ada orang yang berwakaf (wakif), syaratnya orang yang bebas untuk berbuat kebaikan, meskipun bukan muslim dan dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena dipaksa.
2.         Ada benda yang diwakafkan (maukuf), syaratnya pertama, benda itu kekal zatnya dan dapat diambil manfaatnya (tidak musnah karena diambil manfaatnya). Kedua, kepunyaan orang yang mewakafkan, meskipun bercampur (musya’) yang tidak dapat dipisahkan dari orang lain, maka boleh mewakafkan uang yang berupa modal, berupa saham pada perusahaan. Ketiga, harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf itu diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum hendaknya  ada badan yang menerimanya yang disebut nadzir. Dan diperbolehkan bagi orang yang mengurus zakat (nadzir) untuk mengambil sebagian dari hasil wakaf. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “ Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian dirinya dengan cara yang makruf “.
3.   Tujuan wakaf (maukuf alaihi) disyariatkan tidak bertentangan dengan nilai ibadah. Menurut Sayid Sabiq, tidak sah wakaf untuk maksiat seperti untuk gereja dan biara, dan tempat bar.
4.    Pernyataan wakaf (shighat wakaf) baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf dinyatakan sah jika telah ada pernyataan ijab dari wakif dan kabul dari maukuf alaihi. Shigat dengan isyarat hanya diperuntukan bagi orang yang tidak dapat lisan dan tulisan.
Sayyid Sabiq, menambahkan bahwa pernyataan wakaf dinyatakan sah melalui dua cara:
1.        Perbuatan yang menunjukkan wakaf seperti seorang membangun masjid dan dikumandangkan adzan di dalamnya. Hal ini telah menunjukkan wakaf tanpa harus ada penetapan dari hakim.
2.        Ucapan, baik shahih (jelas), maupun kinayah (tersembunyi). Contoh yang shahih seorang wakif (orang yang mewakafkan) berkata, “aku wakafkan”, “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadikan untuk sabilillah”. Adapun ucapan kinayah seperti, “aku sedekahkan” akan tetapi niatnya adalah wakafkannya.
G.  Syarat – Syarat Wakaf
Adapun syarat-syarat wakaf adalah sebagai berikut:
1.      Untuk selama-lamanya
Wakaf untuk selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu. Hal ini disepakati oleh para ulama, kecuali madzhab Maliki. Hal ini berlaku pula bagi wakaf ahli. Pada wakaf ahli jika pada suatu waktu orang yang ditetapkan mengambil hasil atau manfaat harta wakaf telah tiada, maka harta wakaf itu digunakan untuk kepentingan umum.
2.      Tidak boleh dicabut
Bila terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah waqif meninggal dunia dan wasiat wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya.
3.      Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu harta wakaf itu telah menjadi milik Allah SWT. pemilikan itu tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan hukum atau negara. Negara ikut mengawasi apakah harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan baik atau tidak dan negara juga berkewajiban melindungi harta wakaf itu.
4.      Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya
Tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila waqiif telah selesai mengucapkan ikrar wakafnya, maka pada saat itu wakaf telah terlaksana. Agar adanya kepastian hukum adalah baik bila wakaf itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti surat-surat dan sebagainya. Pada saat itu pula harta yang diwakafkan itu telah diserahkan kepada pengelolanya (nazir), dan sejak itu pula pemilik harta tidak berhak lagi atas harta yang telah diwakafkannya itu.

Hal-hal yang boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004), yaitu :
1)      Menyewakan harta wakaf
Pengelola wakaf berwenang untuk menyewakan wakaf jika menurutnya akan mendatangkan keuntungan  dan tidak ada pihak yang melarangnya, sehingga dari penerimaan itu, pengelola wakaf dapat membiayai hal-halyang ditentuka oleh pewakaf atau untuk kepentingan wakaf dan penerima wakaf, seperti membangun, mengembangkan, maupun memperbaiki kerusakannya.
2)      Menanami tanah wakaf
Pengelola boleh memanfaatkan tanah wakaf dengan cara menanaminya dengan aneka jenis tanaman perkebunan, dengan memperhatikan dampaknya pada tanah wakaf dan kepentingan para mustahik.
3)      Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan
Pengelola wakaf berwenang mendirikan bangunan berupa gedung untuk disewakan, seperti membangun rumah kediaman, dalam hal ini jika keuntungan yang didapat dari hasil sewa bangunan lebih besar ketimbang jika digunakan untuk lahan pertanian.
4)      Mengubah kondisi harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para fakir miskin dan mustahik
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa dalam pengubahan tersebut dia harus menjaga dan memperhatikan kondisi harta wakaf dan kebutuhan penerima wakaf, sehingga dapat dipadukan antara pelaksanaan syarat dari pewakaf dan tujuan dari wakaf.
Mengantisipasi hal ini, Kompilasi Hukum Islam telah memberanikan diri untuk membuka kemungkinan dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak dapat dirasakan lagi oleh masyarakat.
Ketentuan tentang kemungkinan pengalihfungsian harta wakaf ini dapat dilihat dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa pada dasarnya terhadap harta yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan, penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan: a) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif, b) Karena kepentingan umum.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004) :
1)      Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, karena dua pihak yang bertransaksi tidak bolehterkumpul pada satu orang ( misalnya, pengelola wakaf merangkap sebagai penyewa harta wakaf ). Pengelola wakaf juga tidak boleh menyewakan harta wakaf kepada orang yang tidak diterima atau diragukan kesaksiannya, baik orang tua, anak atau istrinya, untuk mencegah timbulnya fitnah dan untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan.
2)      Tidak boleh berutang atas nama wakaf, baik melalui pinjaman ataupun dengan membeli keperluan yang dibutuhkan untuk perawatan harta wakaf secara kredit. Di mana ia berjanji untuk membayar harganya setelah adanya keuntungan yang dihasilkan dari harta wakaf. Hal ini untuk menghindari sita atas harta wakaf atau hasil yang didapatkan  untuk dapat melunasi hutangnya, sehingga harta wakaf menjadi hilang dan para mustahik tidak dapat mendapatkan keuntungan darinya.
3)      Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan kepada kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah seorang mustahik. Hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya harta wakaf, dan dapat menghilangkan manfaat dari harta wakaf itu sendiri.
4)      Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran, kecuali dengan alasan hukum. Apabila pengelola wakaf menempatkan seseorang di rumah wakaf tanpa bayaran,  maka orang yang emnempati rumah tersebut haus membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas, baik rumah dalam kondisi siap pakai maupun tidak.
5)      Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk dalam golongan peruntukkan wakaf. Sebab, tindakannya itu termasuk dalam pemakaian harta secara gratis yang menyebabkan tidak adanya keuntungan bagi wakaf dan mengabaikan hak-hak para mustahik. Orang yang telah meminjam harat wakaf dan mengambil manfaat darinya harus membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas.

Pengelola wakaf tidak wajib memberikan ganti rugi apabila harta atau sumber wakaf rusak jika penyebabnya adalah kekuatan besar yang sulit dihindari atau bencana yang tidak bisa dicegah, sementara dia tidak lalai dalam menjaga harta wakaf tersebut. Pengelola wakaf diperbolehkan memakan sebagian dari hasil wakaf itu, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (besaran yang wajar).”




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wakaf adalah menahan benda yang tidak mudah rusak (musnah) untuk diambil manfaatnya bagi kepentingan yang dibenarkan oleh syara dengan tujuan memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut jumhur ulama boleh menghibahkan apa saja kecuali yang tidak halal seperti anjing tidak boleh dimiliki.
Rukun dan syarat wakaf meliputi:
1.      Ada orang yang berwakaf (wakif)
2.      Ada benda yang diwakafkan (maukuf)
3.      Tujuan wakaf (Maukuf alaihi)
4.      Pernyataan wakaf (Shigat wakaf)

Wakaf terbagi menjadi dua:
1.      Wakaf Dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan wakaf  ahli ialah wakaf yang ditujukan untuk orangorang tertentu baik keluarga wakif atau orang lain.
2.       Wakaf khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tetentu. Wakaf khairi inilah wakaf yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.

B.   Saran
Pemberitahuan mengenai hukum wakaf sangat diperlukan karena pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf.Seperti pengetahuan mengenai benda yang diwakafkan adalah benda tidak bergerak (tanah), padahal benda yang diwakafkan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Lalu mempertimbangkan kemampuan nadzir atau dapat dikatakan telah memenuhi standar kualifikasi untuk mengelola harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat akan optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, M. Al-Syarbini, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt.
Faisal Haq, dkk, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, PT Garuda Buana, Pasuruan.

Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, ter. KH. Anwar, Syarifuddin, Surabaya: Bijna Iman, 2007.
Kementerian Agama Republik Indonesia, AL-Qur’an dan Terjamahnya, (Jakarta: Pelita, 1979)
M. Daud Ali,  Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf , Jakarta, Rosdakarya  (1988)

Suhendi, Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Ghazaly, Rahman Abdul, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Sayyid,  Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-fikr, 2006.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : MAKALAH TENTANG WAKAF

0 komentar:

Post a Comment